Langit sudah terlihat mendung sedari keberangkatan saya menuju sebuah forum sastra yang diadakan di salah satu gedung bersejarah di Bandung. Klimaksnya setelah acara baru saja dibuka, hujan turun dengan derasnya. Membuat suara-suara dalam gedung terdistorsi oleh gemuruh suara air hujan. Hujan tak juga kunjung berhenti setelah acaranya selesai. Oia, ini merupakan pengalaman kali pertama saya dalam mengunjungi sebuah forum sastra, khususnya mengenai puisi. Ternyata menyenangkan juga, banyak ide-ide yang bisa saya pelajari dari kegiatan seperti ini, mengingat saya termasuk orang yang sangat asing dalam dunia persastraan, ide-ide yang belum pernah saya dapatkan dari bangku sekolah dulu hingga saat ini. Hari sudah sore, langit masih terlihat asik mempermainkan manusia-manusia dibawahnya dengan air. Saya memutuskan untuk berhujan-hujan ria saja, disamping saya berpikir toh bahwa di perjalanan nanti hujan akan berhenti, juga karena teman saya yang terlihat tak tenang karena salah satu tugas laboratoriumnya yang belum selesai. Kasihan juga.
Perkiraan saya salah sepenuhnya, sepertinya memang benar bahwa langit sudah tak konsisten. Setelah beberapa menit hujan berhenti sejenak, tiba-tiba saja mengguyur kembali berulang-ulang. Saya terpaksa berteduh di emperan toko yang berada tepat di depan Gedung Merdeka. Di pojokan kanan bangunan, seorang bapak terlihat asik mengisi lembaran teka-teki silang dan disampingnya, seorang ibu sedang berselimut duduk membelakangi jalan. Setengah batang rokok sudah saya habiskan, menguap linier bersama asap yang paru-paru hisap. Datanglah seorang lelaki yang saya tak bisa perkirakan umurnya. Badannya tegap dengan lengan penuh tato berjanggut tipis, sekilas mirip artis sinetron kawakan Eeng Saptahadi. Dia tersenyum ramah sembari membereskan lantai dan menghamparkan beberapa lembar kardus. “Persiapan tidur jang”, ucapnya. Setelah kami memulai perbicaraan kecil mengenai hujan yang belum juga reda, saya mengajaknya berkenalan sembari menawarkan rokok, “Dodi..”, jawabnya mantap. Beberapa menit setelahnya datang juga perempuan yang juga tak bisa saya perkiraan umurnya, duduk di alas yang sudah di persiapkan.
Dodi adalah seorang pengumpul barang-barang bekas, berbekal gerobak sederhana yang setiap harinya dipakai untuk “berpatroli”, berburu barang-barang bekas berupa besi tua atau botol-botol di jalan-jalan sekitar Asia-Afrika. Setiap hari ia tidur di tempat dimana kami bercerita waktu itu. Di sebuah pojokan emperan toko yang disulap menjadi sepetak tempat beristirahat bersama. Ya bersama, karena beberapa menit kami mengobrol datanglah seorang kakek tua berkacamata menghampiri. Sang perempuan dengan seketika menawarkan tempat favorit si kakek -di pojokan tembok- dan menyuruhnya segera duduk beristirahat. Dan tampaknya mereka masih menunggu salah satu kerabatnya yang sama-sama menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahat setiap malamnya. “Sudah lama”, katanya, tanpa menyebut bilangan waktu yang lebih spesifik ketika ditanya sudah berapa lama menjadikan tempat ini sebagai tempat singgahnya.
Saya berpikir ketika orang-orang di luar sana (termasuk saya, kamu?) merasa takut kehilangan sesuatu yang kita miliki. Entah di kos-kosan, komplek perumahan, pemukiman, dll, rela membayar untuk mengerahkan sepasukan manusia untuk menjaga barang-barang kita. Belum lagi untuk alat-alat pendukung keamanan lainnya : lusinan gembok, sepasang anjing penjaga, kamera CCTV, pentungan, kawat berduri (berlistrik?), alarm nan canggih, ranjau darat, sampai jin penunggu rumah mungkin (selintas saya teringat potongan film The Edukators dan Janji Joni). Sedangkan mereka dapat tidur dengan tenang, tanpa takut merasa kehilangan. Dan yang pasti tidak perlu khawatir dengan biaya listrik yang membengkak, penggunaan pulsa berlebih, pajak kendaraan dan rumah. “Sudah untuk makan sehari juga sudah cukup bagi kami dan besok mesti cari barang lagi biar bisa makan”, ujar Doni tersenyum seraya menghisap sebatang rokok dalam-dalam. Lalu ketika saya bertanya mengenai kepada siapa apabila barang-barang bekas itu akan dijual dia menjawab dengan ringan, “Yaa ke yang nawarin harga lebih tinggi aja, berapapun yang penting lebih tinggi, ga pake bos-bos-an kaya orang lain, saya ga suka bos-bos-an, saya ga mau terikat”. “Kalau ada razia satpol pp gimana pak?”, saya bertanya kembali. “Kalau satpol pp mah ga pernah razia tukang loakan, kalo tukang minta-minta sama pedagang baru biasanya ditangkap, mereka kalo liat gerobak kita, mereka juga ngerti, lagian kalo minta-minta saya ga suka, nunggu pemberian orang gitu, nunggu dikasihani, kan lebih baik tangan di atas daripada di bawah, yang penting kerja dulu terus bisa makan buat sehari juga cukup”, jawabnya mantap dengan ekpresi muka serius sejenak lalu tersenyum lebar setelah menghirup rokoknya dalam-dalam. Saya pun hanya bisa tersenyum melihat apa yang telah Dodi yakini (dan berpikir ternyata kelakuan si “pasukan sok tertib” ga monster-monster amat, tapi monster tetap aja monster kan).
Sebenarnya saya ingin lebih lama lagi bertukar cerita bersama Dodi dan kawan-kawannya, melihat hujan yang sudah reda, otomatis saya tak ada alasan lagi untuk membiarkan wajah teman saya yang sudah tak karuan, akhirnya saya berpamitan untuk undur diri. Label kaya atau miskin yang muncul dalam nilai-nilai masyarakat seharusnya dapat dilihat dengan kebutuhan hidupnya, tidak jarang orang-orang kaya yang masih saja merasa miskin seiring dengan hasrat akan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Selalu merasa kurang karena keinginan kita yang semakin menjadi akan kebutuhan-kebutuhan fiktif. Sebaliknya orang yang kurang secara kapital justru hatinya merasa kaya ketika kebutuhan hidupnya tercukupi baik jasmani maupun rohani. Itu yang kadang-kadang kita lupakan. Sampai bertemu lagi bapak Dodi. Terimakasih. Lengkap sudah hari ini.
Sisipan cerita :
Sebelumnya saya mencak-mencak sendiri ketika melihat kelakukan langit yang semakin tak karuan, tapi setelah agak reda dan melewati jalan-jalan yang biasanya penuh dengan iklan kampanye caleg yang sama-sama tak karuan juga, agak-agak bersih. Ternyata angin dan air hujan menghempaskan foto-foto narsis mereka jatuh ke jalanan (ada juga yang ke selokan). Langit saja muak sepertinya melihat foto-foto mereka. Ah, terimakasih langit.